JAK BEUDOH BESARE TANAH ACEH
Naskah: Ivana/Ari/Jenifer
Foto: Ari Trismana/Li Shieh-soun
Spanduk berwarna dasar putih itu terbentang di bundaran menuju Jalan
Teuku Umar, Banda Aceh. Sebuah tulisan terpampang,
“Jak Beudoh Besare”. Dalam bahasa Indonesia, artinya:
“Ayo bangun bersama”.
Kata ini bukan hanya slogan pemanis sudut kota, melainkan memang benar-benar
menjadi kata sakti yang kini diejawantahkan orang-orang Aceh. Orang-orang
seperti saling berlomba membangun kembali tanah tercinta mereka yang porak-poranda.
|
Di depan bundaran Masjid Raya Baiturrahman, seorang ibu
yang mengenakan kerudung hitam, bagian pakaian wajib bagi kaum wanita
di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sedang melakukan tawar-menawar dengan
seorang penarik becak motor. Ibu ini baru selesai berbelanja di Pasar
Atjeh, yang juga ada dalam komplek bundaran itu. Beberapa saat kemudian,
si penarik becak men-starter mesin becak motornya. Tampaknya mereka sudah
menemui kata sepakat. Becak motor yang mereka tumpangi melaju menerobos
kota yang sudah mulai ‘hidup kembali’.
Sudah 6 bulan lewat setelah gempa bumi dan tsunami di Serambi Mekkah mencengangkan
dunia. Di berbagai tempat, nafas kehidupan sudah normal kembali. Pasar-pasar
sudah beroperasi seperti biasa, sekolah-sekolah yang bangunannya masih
dapat diselamatkan juga mulai dipenuhi para siswa. Sekilas, nyaris tak
tampak bahwa di tempat ini pernah terjadi bencana yang telah menghancurkan
kehidupan begitu banyak manusia.
Pembersihan
Usaha-usaha pemulihan dan pembangunan sudah dimulai di sana-sini. Yang
paling pertama dilakukan adalah pembersihan daerah-daerah eks tempat bencana.
Meski jalan-jalan utama di pusat kota terlihat bersih, namun di beberapa
tempat, sampah bekas reruntuhan atau puing-puing masih tampak menggunung.
Bila persoalan ini tak ditangani dengan serius akan berpotensi menimbulkan
wabah penyakit bagi masyarakat.
|
Mercy Corp berinisiatif melakukan pembersihan dengan
memberdayakan para pengungsi. Tinggal di tenda sepanjang hari, tidak banyak
yang bisa dikerjakan oleh para pengungsi. Melalui kondisi seperti ini
selama sekian bulan, bahkan orang yang paling malas pun akan merasa jenuh.
Karena itu program ini sangat baik karena dapat menambah nafkah sekaligus
memberi kegiatan untuk mengisi waktu luang mereka. Pekerja pembersih memperoleh
upah sekitar Rp 35.000,- setiap harinya.
Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam menunjuk Dinas Kebersihan dan
Pertamanan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap persoalan ini.
Di tengah keterbatasan karena banyak tenaga pembersih serta peralatan
yang hilang karena tsunami, pemerintah terus berusaha melakukan pembersihan.
Sampah-sampah yang dikumpulkan dari berbagai tempat dibuang pada tempat
pembuangan akhir yang ada sejak sebelum tsunami.
Huntara yang Ditawarkan Pemerintah
Hingga 3 bulan pascabencana, masyarakat Aceh masih hidup dalam pengungsian.
Misalnya kamp pengungsi komplek TVRI Gue Gajah, Kec. Darul Umarah, Kab.
Aceh Besar, menampung 4.406 jiwa pengungsi di dalam tenda-tenda. Demikian
penuh sesaknya, dalam satu tenda dapat menampung hingga 13 KK, lengkap
dengan barang-barang mereka masing-masing. Hawa panas dan pengap tidak
terhindarkan. “Kalau sudah ndak kuat, saya pindah ke tenda tetangga
yang lebih adem, kadang-kadang berteduh di bawah pohon di depan sana,”
kata Safriana yang tinggal di blok B kamp pengungsi ini. Saat hawa panas
dalam tendanya tak tertahankan lagi, dengan membawa bayinya yang baru
berusia 9 bulan, Safriana berpindah-pindah mencari tempat yang teduh.
Masalah ini masih ditambah lagi dengan kekurangan air bersih dan bencana
banjir yang semakin sering terjadi.
Solusi paling instan yang ditawarkan pemerintah terhadap peningkatan kebutuhan
tempat tinggal yang layak bagi pengungsi adalah dengan membangun barak
atau huntara (hunian sementara). “Setelah melalui 4 bulan masa pembersihan
kota dan evakuasi mayat, sekarang kami memulai program rehabilitasi dan
rekonstruksi,” kata Iskandar, Kasubag Umum Kotamadya Banda Aceh.
Ia juga mengatakan untuk pembangunan kembali Aceh, pemerintah menggunakan
blue print yang dibuat oleh pemerintah pusat. Belajar dari pengalaman
bencana tsunami, 1-1,5 km dari garis pantai ditetapkan sebagai buffer
zone yang dipersiapkan untuk mengantisipasi bencana sejenis di masa mendatang.
Sementara ini pemerintah kota menetapkan jangka berlakunya huntara selama
2 tahun, sepanjang waktu itu penghuni akan menerima bantuan logistik dari
World Food Program (WFP) dan jadup (jatah hidup) sebesar Rp 3.000,- per
orang per hari. Namun belum ada jaminan ke mana para penghuni barak harus
pindah saat masa berlaku ini usai.
Tzu Chi Membangun Kampung Tenda
Hampir serupa dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah, Tzu Chi
saat ini juga menjalankan program rehabilitasi jangka menengah dengan
pembangunan kampung tenda Cinta Kasih Tzu Chi dan pembagian 32.000 ton
bantuan beras Cinta Kasih. Pemberian bantuan diserahkan langsung ke pengungsi
sesuai dengan prosedur pembagian beras Tzu Chi, yang meliputi survei dan
pembagian kupon. Dokter dan perawat Tzu Chi juga masih menjalankan tugas
di Meulaboh dan Banda Aceh. Mereka membuka klinik gratis dan klinik keliling
dengan menggunakan ambulans.
Banyak pertanyaan yang muncul sehubungan dengan program jangka menengah
ini. Berbagai argumen senada muncul tentang “Mengapa Tzu Chi masih
memberlakukan tenda, padahal hampir seluruh pengungsi sangat merindukan
dapat langsung dipindahkan ke rumah?” Alasannya, pengungsi yang
tinggal dalam pengungsian membutuhkan kestabilan hidup secepat mungkin,
karena tempat tinggal adalah pondasi penopang yang sangat mendasar untuk
mulai memulihkan kehidupan mereka. Pada akhirnya Tzu Chi tetap akan membangun
perumahan cinta kasih untuk membantu pemulihan hidup para pengungsi yang
menjadi korban bencana, namun ini adalah proses yang cukup panjang, sementara
desakan kebutuhan mereka tidak dapat ditawar. Karena itu, Tzu Chi memilih
tenda untuk menyediakan tempat tinggal yang tentram bagi pengungsi secepat
mungkin.
Lokasi kampung tenda dipusatkan di Banda Aceh, Meulaboh, dan Teunom. Program
pembangunannya dimulai sejak bulan Februari 2005. Hingga saat ini, di
Banda Aceh akan dibangun sekitar 1.700 tenda, sedangkan di Meulaboh dan
Teunom sekitar 1.200 tenda. Rumah tenda dibangun membentuk lorong-lorong,
mirip dengan komplek perumahan. Untuk setiap 72 KK yang dikelompokkan
dalam 1 blok, disediakan 1 dapur umum serta 1 unit MCK yang terdiri dari
16 buah kamar mandi dan 16 buah kakus. Alas rumah tenda dilapisi dengan
papan sehingga memberikan rasa nyaman bagi penghuninya. Penghuni rumah
tenda tak akan tinggal dalam kegelapan di malam hari, sebab jaringan listrik
telah terpasang. Setiap 2 rumah tenda mendapat aliran listrik melalui
1 buah sekring. Daya listrik yang dapat dikonsumsi maksimal 450 Watt,
jumlah yang cukup untuk menyalakan lampu, radio, kipas angin, dan alat
elektronik lain.
|
Tumbuhnya Tunas Harapan
Sudah banyak tenda yang berdiri, meski memang belum semua terisi. Pemindahan
pengungsi bukanlah sebuah proses yang mudah. Mulai dari presentasi program,
sosialisasi, dan pendataan dari tenda pengungsi yang satu ke tenda yang
lain, hingga mengurus kepindahan keluarga-keluarga bersama barang-barang
mereka ke tenda Tzu Chi dilakukan oleh para relawan bukan tanpa halangan.
Tapi ini semua tidak menyurutkan semangat relawan Tzu Chi dan relawan
lokal yang turut membantu. Setelah penghuni menempati rumah tenda mereka
pun, tidak berarti semuanya sudah selesai. Tzu Chi masih terus melakukan
pendampingan dan mengarahkan penghuni tenda untuk mulai membangun kehidupan
mereka. Lewat beberapa waktu, secara langsung ataupun tidak, usaha yang
coba dilakukan ini mulai dirasakan manfaatnya oleh para penghuni, misalnya
Teungku Ibrahim yang tinggal di tenda Jantho, Aceh Besar, “Ya, mudah-mudahan
ada kemajuan sedikit karena kami tinggal terpisah-pisah sehingga kita
bisa mengatur rumah tangga kita sendiri dan mengatur masyarakat kita.”
Di setiap kampung tenda, dipilih seorang koordinator tenda yang bertugas
mengetuai kepala-kepala lorong di tenda Tzu Chi. Berbagai masalah yang
menjadi ganjalan penghuni akan disampaikan melalui perantaraan koordinator
tenda ini. Salah satunya adalah Abdul Rozak Baasyir, koordinator kampung
tenda Tzu Chi di Jantho, Banda Aceh. Relawan yang berasal dari Solo, Jawa
Tengah ini sering membimbing para penghuni untuk belajar bertanggung jawab
karena ia melihat banyak pengungsi yang hanya menuntut hak, tanpa berpikir
untuk melakukan kewajiban mereka. Kerja kerasnya sedikit demi sedikit
mulai terlihat hasilnya. “Untuk kebersihan sekarang udah agak lumayan,
setiap pagi saya keliling tenda dan menginstruksikan biarpun sampah bekas
bungkus permen pun harus dibersihkan,” katanya tegas.
Penghuni tenda Tzu Chi akan tinggal di kampung tenda selama 1-1,5 tahun.
Selama itu pula mereka akan diberi bantuan bahan kebutuhan pokok sehari-hari.
Di tempat ini mereka dapat memulai hidup yang baru dan perlahan-lahan
menghapus kenangan serta menambal semua kerusakan lahir dan batin. Meski
apa yang disediakan oleh Tzu Chi mungkin tidak dapat serta-merta memuaskan
keinginan semua pihak, namun langkah pertama dari perjalanan panjang ini
sudah dimulai. Kendala-kendala seperti penyesuaian diri pengungsi dengan
tempat dan cara hidup yang baru, serta hubungan dengan lingkungan yang
masih asing, semua adalah tahapan yang harus dilalui.
Arus relokasi pengungsi sudah mulai mengalir, dan kini alirannya kian
deras. Pengungsi yang pindah ke barak, ataupun kampung tenda Tzu Chi,
semuanya menggantung harapan bisa segera meninggalkan kondisi hidup darurat
yang tiba-tiba harus mereka jalani. Membangun kembali sendi-sendi kehidupan
yang telah hancur adalah kerja dalam kerangka besar yang membutuhkan waktu
tidak sedikit. Perlahan-lahan, si ibu yang berkerudung hitam, si penarik
becak, dan semua masyarakat Aceh mencoba meraih kembali impian mereka
untuk hidup dalam ketentraman. Tsunami mungkin tidak hanya membawa duka
dan kehancuran, tapi siapa tahu bisa menjadi titik balik bagi para korban
untuk hidup yang lebih baik. Jak Beudoh Besare!
|